Rapat Koordinasi mengenai Gugatan terkait Isu Hak Kekayaan Intelektual dan Pengenaan Bea Masuk terkait Transaksi Perdagangan secara Elektronik di Forum World Trade Organization (WTO)
Rapat Koordinasi mengenai Gugatan terkait Isu Hak Kekayaan Intelektual dan Pengenaan Bea Masuk terkait Transaksi Perdagangan secara Elektronik di Forum World Trade Organization (WTO) , Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 20 Agustus 2021
Jakarta, 20 Agustus 2021
Dalam rangka Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang merupakan sarana pengambilan keputusan tertinggi di forum WTO yang diadakan setiap 2 (dua) tahun pada Pelaksanaan KTM WTO ke-12 yang akan diselenggarakan pada tanggal 30 November - 3 Desember 2021 di Jenewa, Swiss . Untuk hal tersebut Kementerian Perdagangan RI Cq Direktur Perundingan Multilateral Dirjen PPI mengundang Pemangku Kepentingan dari Kementerian terkait dan Asosiasi dibidang perdagangan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) untuk rapat koodinasi dalam bentuk Virtual Meeting yang diadakan pada Tanggal 20 Agustus 2021.
Direktur Perundingan Multilateral Dandy Satria Iswara mengemukakan pada Rapat Koordinasi (Virtual Meeting) Pelaksanaan KTM WTO ke-12 merupakan pertemuan yang akan mengangkat sejumlah isu perdagangan untuk kemajuan sistem perdagangan multilateral, beberapa diantaranya, yaitu (i) moratorium atas gugatan terkait isu Hak Kekayaan Intelektual (Non-Violation and Situation Complaints/NVSC) pada perjanjian TRIPs WTO (kemungkinan untuk menggugat anggota WTO karena kerugian di bidang Kekayaan Intelektual (KI) walaupun tanpa melanggar perjanjian TRIPs WTO), dan (ii) moratorium atas pengenaan bea masuk terkait transaksi perdagangan secara elektronik (Customs Duties on Electronic Transmissions). Kedua isu moratorium tersebut mengalami perpanjangan pada setiap pelaksanan KTM, namun kedua moratorium dimaksud akan ditinjau kembali pada pelaksanaan KTM WTO ke-12.
Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI) hadir pada Rapat Koordinasi dengan membuat beberapa catatan mengikut pemaparan Direktur Perundingan Multilateral yaitu penjelasan tentang WTO dan Moratorium TRIPs terkait Custom Duties on Electronic Transmissions yang antara lain dalam pemaparannya dijelaskan sekilas bahwa World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan global (barang, jasa, dan kekayaan intelektual). WTO memiliki 164 Anggota yang mewakili 98% perdagangan dunia. Organisasi ini dibentuk sesuai dengan Marrakesh Agreement memiliki Fungsi Negosiasi, Fungsi Monitoring dan Fungsi Sosialisasi, Untuk itu bersamaan dengan KTM WTO ke-12 Direktur Perudingan Multilateral dalam rapat menjelaskan beberapa kesepakatan diantara anggota negara – negara WTO untuk kesepakatan Mulilateral sehubungan dengan TRIPs dalam bentuk Moratorium sebagai berikut ;
- Moratorium on TRIPs Non-Violation and Situation Complaints (NVSC), Article 64 TRIPs Agreement, XXIII 1(b) & (c) GATT 1994 , Kemungkinan menyengketakan anggota WTO ketika tindakan anggota tersebut dinilai menyebabkan kerugian tanpa melanggar TRIPs Agreement.Pasal 64.2 dan 64.3 perjanjian TRIPs mengecualikan penerapan NVSC selama 5 tahun (1995-2000) dan menelaah cakupan dan modalitas NVSC pada perjanjian TRIPs. dalam pembahasan dijelaskan oleh pemerintah bahwa penerapan NVSC dapat meningkatkan proteksi Karya Intelektual (KI), namun di sisi lain memberikan ancaman sengketa jika menimbulkan kerugian pada kreator terkait hal tersebut diambil contoh pada produk industri alat kesehatan sebagaimana disampaikan oleh Asosiasi. Pemerintah mendorong agar Karya Intelektual nasional semakin berkembang, sehingga moratorium ini menjaga agar hal tersebut tidak disengketakan walaupun sejalan dengan aturan TRIPs WTO. Rapat menyepakati agar Pemri memperjuangkan perpanjangan moratorium on TRIPs NVSC
- Moratorium on Customs Duties on Electronic Transmissions (CDET), Pembahasan Isu Electronic Commerce pertama kali muncul pada KTM WTO ke-2 tahun 1998 dengan disepakatinya Work Programme on Electronic Commerce (WPE). Salah satu komitmen yang disepakati adalah anggota WTO tidak akan mengenakan bea masuk (customs duties) atas transmisi elektronik. Dalam perkembangannya, dikarenakan tidak adanya definisi yang disepakati mengenai term electronic transmissions, negara maju mengartikan electronic transmissions mencakup elemen produk yang lebih luas mulai dari software, emails, dan text messages sampai digital music, movies dan video games. Dalam pembahasan perrwakilan Kemenkeu memaparkan bahwa kepentingan Pemerintah pada CDET tidak hanya kepentingan pemasukan negara, namun juga sebagai pencatatan statistik perdagangan dan policy space untuk kontrol terkait larangan dan pembatasan serta masalah keamanan
- Keterkaitan Moratorium on TRIPs NVSC dengan Moratorium on CDE, Terkait dengan Posisi Indonesia pada KTM WTO ke-11, Indonesia sepakat dengan keputusan KTM WTO ke-11 untuk memperpanjang pemberlakukan moratorium sampai dengan KTM berikutnya. Namun, Indonesia berpandangan bahwa moratorium tersebut hanya berlaku untuk transmisi elektroniknya saja, dan bukan atas konten (barang dan jasa) yang dikirimkan secara eletronik. Pemerintah berpandangan bahwa moratorium on CDET tidak termasuk konten (barang dan jasa) yang ditransmisikan secara elektronik yang mendapat afirmasi Dirjen WTO pada KTM WTO ke-11. Saat ini, Pemerintah telah menerbitkan PMK No. 17/2018 yang mengatur pengenaan bea masuk 0% terhadap peranti lunak dan barang digital lainnya. Adanya kekhawatiran negara maju proponen moratorium permanen mengenai teknis penerapan CDET tanpa mengganggu pengiriman konten (“without causing any disruption”). Untuk itu, Tim teknis Ditjen Bea Cukai sedang mengkaji hal ini lebih lanjut. Rapat menyepakati bahwa Pemerintah perlu mendukung perpanjangan moratorium on CDET. Perpanjangan moratorium on TRIPs NVSC pada praktiknya merupakan trade off dari perpanjangan moratorium on CDET, sehingga perlu antisipasi adanya trade off pada kedua moratorium tersebut pada KTM WTO ke-12.
Melalui pemaparan tersebut menambahkan bahawa Asosiasi Industri dapat memberikan masukannya terhadap kesenjangan perdagangan antara Negara Maju dan Negara Berkembang terutama produk perdagangan barang, jasa dan HAKI sehingga bisa dibahas pada rapat koordinasi hari ini untuk mendapatkan masukan dari pelaku usaha industry menjelang KTM WTO ke - 12
Perwakilan Asosiasi GPFI & APINDO memberikan pandangan bahwa penerapan NVSC perlu kejelasan penerapan Kekayaan Intelektual (KI) untuk kepentingan publik, misalnya terkait penanganan pandemi COVID-19. Selain itu, penerapan NVSC akan berisiko bagi Pemerintah karena jumlah kepemilikan Kekayaan Intelektual nasional masih perlu ditingkatkan dan Indonesia masih banyak mengimpor KI. Penerapan NVSC dapat meningkatkan proteksi KI, namun di sisi lain memberikan ancaman sengketa jika menimbulkan kerugian pada kreator terkait. Reverse engineering (amati, tiru, modifikasi), sebagai salah satu contoh metode pengembangan industri alat kesehatan (alkes) yang tertuang pada Inpres No.6/2016 dan Permenkes No. 17/2017, dikhawatirkan dapat bersinggungan dengan NVSC. Sedangkan Idea dan IMOCA mempertanyakan apakah barang elektronika hardware digital perlu untuk penadaftaran HAKI untuk Paten Electronic di Indonesia ditanggapi bahwa hal tesebut dapat dikordinasikan ke Kementerian Hukum dan Perundang – undangan cq Direktorat Jendral Hak Atas Kekayaan Intelektual
Direktorat Perundingan Multlairal juga mengajukan tanggapan perihal Transmision on Electronic kepada Asosiasi, untuk itu secara khusus Perwakilan APINDO memberi pandangan bahwa posisi yang terbaik adalah ;
- mempertahankan kedua moratorium, dengan catatan adanya kejelasan cakupan electronic transmissions. Apabila harus memilih salah satu dan Pemri dapat melakukan negosiasi untuk memisahkan antara transmisi dan konten pada CDET, maka CDET dapat kita lepas dengan tetap mempertahankan moratorium on TRIPs NVSC. APINDO memiliki perspektif bahwa kebutuhan Karya Intelektual dinilai lebih besar daripada kebutuhan transaksi lintas batas.
- Lebih dari itu menambahkan bahwa kepentingan pencatatan data statistik perdagangan melalui CDET seharusnya dapat digantikan dengan kebijakan dan teknologi yang dapat diupayakan oleh Kominfo. Oleh karena itu, kebijakan cukai nasional dianggap lebih efektif dibandingkan harus mengatur transaksi crossborder.
Menanggapi usulan dari Asosiasi Perwakilan Kemenkeu menanggapi bahwa CDET juga dibutuhkan untuk memastikan pelaporan transaksi dan membedakan perlakuan produk impor dengan produk domestik yang tidak dapat dipenuhi dengan cukai nasional. Namun isu mengenai cukai nasional dan pajak bukan merupakan cakupan pembahasan di WTO. Hal yang terpenting dari hasil pembahasan Rapat dapat disimpulkan bahwa Pemerintah perlu mengantisipasi posisi negara maju yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan kontrol atas perdagangan digital dunia, mengingat negara maju tersebut merupakan pemain utama dalam industri perdagangan digital.
Dalam penutup rapat Direktur Perundingan Multilateral Dandy Dedy Setya Iswara menjelaskan bahwa dari masing – masing Asosiasi apabila akan mengajukan gugatan terkait Isu Hak Kekayaan Intelektual dan Transtrsaksi Perdagangan secara Elektronik di Forum World Trade Organization (WTO) dapat menagjukan surat Ke Kementerian Perdagangan Direktorat Perundingan Multilateral sehubungan dengan produk Industri yang dimiliki oleh masing-masing Asosiasi.
Selama mengikuti acara tersebut APMI mencatat bahwa perkembangan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO yang diwakili oleh pemerintah cq Kementerian Perdagangan RI Direkorat Perundingan Multilareal perlu terus diikuti perkembangan dari hasil negosiasi moratoriu TRIPs dan WTO sehubungan APMI sebagai Asosiasi yang menaungi Industri Penyiaran Digital banyak membahas isu terkait hak siar khususnya penyiaran digital.
Rpp/apmi/VIII/Risalah_rapat_Terkait_HKI_WTO/20021
Sumber: https://mediaindonesia.com/ekonomi/332587/asosiasi-desak-pemerintah-percepat-industri-bahan-baku-farmasi